MAKALAH
DAKWAH
ISLAM DI NUSANTARA DAN ASAL – USUL MUHAMMADIYAH
Untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Kemuhammadiyahan Yang diampu oleh Junaidi,M.Ag
Pada program
studi pendidikan bahasa inggris
Disusun oleh:
Yunida Nindiya
Nadia Purnawati
Oktaviani
Widyawati
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
MUHAMADIYAH
KOTABUMI-LAMPUNG
OKTOBER
2017
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan
syukur kepada Allah SWT,yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada
kami , sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan judul
“Dakwah Islam di Nusantara dan Asal – Usul Muhamadiyah”.
Makalah ini disusun dengan
harapan dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita semua.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah
ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun. Dan semoga selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi
teman-teman sekalian.
Kotabumi,Oktober2017
Penulis
BAB
I
Sejarah telah mencatat bahwa islam
telah memberikan suatu kerangka bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban
dunia. Sikap dan semangat ilmiah yang telah di bentuk oleh dunia islam pada
abad pertengahan, melahirkan figure ensiklopedik dari berbagai ilmu
pengetahuan. Peradaban dan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan yang telah di
capai Oleh kaum muslimin sebelumnya tidak nampak lagi bahkan kaum
muslimin tampak statis dalam lapangan pemikiran, termasuk bidang pemikiran
keagamaan.
Sejak itu kondisi dunia islam dengan
berbagi aspeknya menarik perhatian banyak kalangan. Dari pihak non muslim yang
bersimpati berpandangan agar kaum muslimin itu bisa menyesuiakan diri dengan
semangat kebudayaan modern. Bagaimana kaum muslimin dengan latar belakang
kebudayaan yang berbeda itu memahami ajaran islam untuk memecahkan
persoalan-persoalan kini. Bahkan sebagian dari kelompon non muslim yang lebih
ekstrim mengatakan bahwa kemungkinan yang ada untuk mengembalikan kejayaan
islam adalah meninggalkan warisan lama dan memasukkan kebudayaan barat ke dalam
kehidupan kaum muslimin. Kelompok ini mengganggap bahwa setiap apa yang di
hasilkan barat identik kemajuan.
Dari kalangan kaum muslimin terdapat
dua kelompok. Pertama, mereka yang menyadari tentang keadaan kaum muslimin dan
menilai kenyataan pemahaman dari praktek keagamaan kini yang telah di anggap
menyimpang dari ajaran islam yang benar. Mereka berpendapat jika kaum muslimin
kembali pada prinsip ajaran islam dan mengegerakkan semangat islam dan
mengegerakkan semangat ijtihad dalam setiap proses pemikiran, maka kaum
muslimin akan memperoleh kembali kemajuan sebagai mana yang telah di capainya
pada waktu lampau. Kedua, mereka yang berpegang teguh pada warisan tradisi abad
pertengahan beranggapan bahwa apa yang telah di capai oleh ulama islam di
bidang pemikiran agama di nilai mutlak, dan tidak mungkin ada pemikiran lain
yang bisa menandinginya.
Di Indonesia, proses perubahan alam
pikiran tentang islam, selain fakor kondisi intern umat islam terjadi setelah
terbukanya komunikasi yang luas dengan Negara timur tengah yang menjadi pusat
islam. Proses perubahan ini di lakukan oleh individu dalam kelompok masyarakat
yang ingin memperjuangkan identitas dan prinsip ajaran islam di
tengah-tengah kehidupan bangsa Indonesia. Usaha tersebut di realisir
dengan mendirikan organisasi tertentu. Di antara organisasi ini, muhammdiyah di
pandang memiliki peranan yang sangat penting dalam menyebarkan ide-ide
pembaharuan islam dan memiliki perngaruh yang cukup kuat di kalangan masyarakat
menengah Indonesia. (Din Syamsuddin )
Berdasarkan latar
belakang diatas kami merumuskan beberapa masalah yaitu diantaranya:
1. Apa asal-usul
kemuhamadiyahan ?
2. Bagaimana teori masuknya
islam di nusantara?
3. Bagaimana proses
perkembangan islam di nusantara?
4. Apakah corak islam di
nusantara?
5. ?
1.
Untuk mengetahui asal-usul kemuhamadiyahan
2.
Untuk mengetahui teori masuknya islam di nusantara
3.
Untuk mengerti proses perkembangan islam di nusantara
4.
Untuk mengetahui corak islam di nusantara
5.
Untuk mengetahui
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Asal-Usul Kemuhamadiyahan
Muhammadiyah
adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad
SAW. sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi
pengikut Nabi Muhammad SAW.
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad
Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal
mistik. Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul
Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah
dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan
selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Muhammadiyah (sekarang dikenal
dengan Madrasah Mu’allimin khusus laki-laki, yang bertempat di Patangpuluhan
kecamatan Wirobrajan dan Mu’allimaat Muhammadiyah khusus Perempuan, di
Suronatan Yogyakarta).
Muhammadiyah secara etimologis berarti pengikut nabi Muhammad, karena
berasal dari kata Muhammad, kemudian mendapatkan ya nisbiyah, sedangkan secara
terminologi berarti gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dan tajdid,
bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Berkaitan dengan latar belakang berdirinya
Muhammadiyah secara garis besar faktor penyebabnya adalah pertama,
faktor subyektif adalah hasil pendalaman KH. Ahmad Dahlan terhadap al-Qur’an
dalam menelaah, membahas dan mengkaji kandungan isinya. Kedua, faktor
obyektif di mana dapat dilihat secara internal dan eksternal. Secara
internal ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya al-Qur’an dan
as-Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagiab besar umat Islam
Indonesia.
Muhammadiyah adalah Gerakan Islam yang melaksanakan da’wah amar ma’ruf
nahi munkar dengan maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama
Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah
berpandangan bahwa Agama Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan meliputi
aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu’amalat dunyawiyah yang merupakan satu kesatuan
yang utuh dan harus dilaksanakan dalam kehidupan perseorangan maupun kolektif.
Dengan mengemban misi gerakan tersebut Muhammadiyah dapat mewujudkan atau
mengaktualisasikan Agama Islam menjadi rahmatan lil-‘alamin dalam kehidupan di
muka bumi ini.
Visi Muhammadiyah adalah sebagai gerakan Islam yang berlandaskan
al-Qur’an dan as-Sunnah dengan watak tajdid yang dimilikinya senantiasa
istiqamah dan aktif dalam melaksanakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar di
segala bidang, sehingga menjadi rahmatan li al-‘alamin bagi umat, bangsa dan
dunia kemanusiaan menuju terciptanya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya
yang diridhai Allah swt dalam kehidupan di dunia ini. Misi Muhammadiyah adalah:
(1) Menegakkan keyakinan tauhid yang murni sesuai dengan ajaran Allah
swt yang dibawa oleh Rasulullah yang disyariatkan sejak Nabi Nuh hingga Nabi
Muhammad saw.
(2) Memahami agama dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa
ajaran Islam untuk menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan
yang bersifat duniawi.
(3) Menyebarluaskan ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an sebagai
kitab Allah yang terakhir untuk umat manusia sebagai penjelasannya.
(4) Mewujudkan amalan-amalan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan
masyarakat. Lihat Tanfidz Keputusan Musyawarah Wilayah ke-39 Muhammadiyah
Sumatera Barat tahun 2005 di Kota Sawahlunto
Secara umum terdapat tiga teori
masuknya islam ke indonesia atau nusantara. Teori tersebut sebagai berikut :
A. Teori Masuknya islam di Nusantara berdasarkan Teori Gurajat
Menurut Teori Gurajat, islam masuk ke indonesia melalui wilayah-wilayah di anak benua India seperti Gurajat, Bengali, dan Malabar. Pendapat ini didasarkan pada temuan nisan-nisan kuburan di beberapa wilayah indonesia yang dibuat dan dibawa langsung dari kota Gurajat.
Pendapat tentang masuknya islam dari Gurajat, india didasarkan pada corak ajaran Islam yang berkembang di Nusantara pada awalnya cenderung memiliki warna tasawuf yang kental. Hal ini mirip dengan tradisi tasawuf yang berkembang di india. Seperti diketahui bahwa setelah masa hancurnya Kesultanan Abbasiyah di bagdad, umat islam menekuni jalan tassawuf. Utamanya di tanah india. Islam berkembang di tanah india dengan kerajaan mugal dan kerajaan Deccan. Kedua kerajaan ini menjadi beberapa diantara pusat Islam Asia Tengah dan Asia Tenggara. Pengaruh kedua kerajaan tersebut juga terdengar hingga wilayah Nusantara.
Salah satu pendukung utama teori ini adalah Snouck Hurgronje. Ia seorang ilmuwan belanda yang diperintahkan untuk belajar agama Islam dan mencari kelemahan umat islam di Nusantara Khususnya umat islam di Aceh. Dalam melaksanakan tugasnya, shouck banyak mengeluarkan kesesatan yang bertujuan melemahkan mental dan ajaran agama islam yang dipahami oleh umat islam.
B. Teori masuknya Islam di Nusantara Berdasarkan Teori Persia
Teori kedua masuknya islam di Nusantara bahwa islam masuk melalui persia. Hal ini terjadi pada abad XII. Dasar pendapat ini adalah maraknya paham syiah pada awal-awal masuknya islam di Nusantara. Paham syiah berkembang sangat luas dalam masyarakat persia. Hal tersebut tidak lepas dari hadirnya salah satu istri Ali bin Abi Talilb yang berasal dari persia. Keadaan ini membuat masyarakat persia merasa senasib dengan saudara mereka, yaitu keluarga ali yang diburu oleh Pemerintahan Muawiyah.
Maraknya syiah di wilayah Nusantara terlihat dari tradisi upaca seperti mengarak tabut di jambi yang dilambangkan dengan mengarak jasad Husein bin Ali yang terbunuh dalam peristiwa Karbala. Kuatnya tradisi Syiah bahkan masih terasa hingga saat ini.
A. Teori Masuknya islam di Nusantara berdasarkan Teori Gurajat
Menurut Teori Gurajat, islam masuk ke indonesia melalui wilayah-wilayah di anak benua India seperti Gurajat, Bengali, dan Malabar. Pendapat ini didasarkan pada temuan nisan-nisan kuburan di beberapa wilayah indonesia yang dibuat dan dibawa langsung dari kota Gurajat.
Pendapat tentang masuknya islam dari Gurajat, india didasarkan pada corak ajaran Islam yang berkembang di Nusantara pada awalnya cenderung memiliki warna tasawuf yang kental. Hal ini mirip dengan tradisi tasawuf yang berkembang di india. Seperti diketahui bahwa setelah masa hancurnya Kesultanan Abbasiyah di bagdad, umat islam menekuni jalan tassawuf. Utamanya di tanah india. Islam berkembang di tanah india dengan kerajaan mugal dan kerajaan Deccan. Kedua kerajaan ini menjadi beberapa diantara pusat Islam Asia Tengah dan Asia Tenggara. Pengaruh kedua kerajaan tersebut juga terdengar hingga wilayah Nusantara.
Salah satu pendukung utama teori ini adalah Snouck Hurgronje. Ia seorang ilmuwan belanda yang diperintahkan untuk belajar agama Islam dan mencari kelemahan umat islam di Nusantara Khususnya umat islam di Aceh. Dalam melaksanakan tugasnya, shouck banyak mengeluarkan kesesatan yang bertujuan melemahkan mental dan ajaran agama islam yang dipahami oleh umat islam.
B. Teori masuknya Islam di Nusantara Berdasarkan Teori Persia
Teori kedua masuknya islam di Nusantara bahwa islam masuk melalui persia. Hal ini terjadi pada abad XII. Dasar pendapat ini adalah maraknya paham syiah pada awal-awal masuknya islam di Nusantara. Paham syiah berkembang sangat luas dalam masyarakat persia. Hal tersebut tidak lepas dari hadirnya salah satu istri Ali bin Abi Talilb yang berasal dari persia. Keadaan ini membuat masyarakat persia merasa senasib dengan saudara mereka, yaitu keluarga ali yang diburu oleh Pemerintahan Muawiyah.
Maraknya syiah di wilayah Nusantara terlihat dari tradisi upaca seperti mengarak tabut di jambi yang dilambangkan dengan mengarak jasad Husein bin Ali yang terbunuh dalam peristiwa Karbala. Kuatnya tradisi Syiah bahkan masih terasa hingga saat ini.
Suku ini disinyalirkan merujuk
pada orang-orang Leran dan Jawi di persia. Suku yang disebut terakhir dikenal
dengan tradisi penulisan arab jawa atau aran pegon yang ditengarai sebagai cara
penulisan adopsi sebagaima adopsi yang dilakukan oleh masyarakat Persia dan
tulisan arab. Hal ini diperkuat dengan berbagai istilah seperti istilah Jer
yang lazim digunakan oleh masyarakat Persia
C. Teori Masuknya Islam di Nusantara berdasarkan Teori Arab
Teori ketiga adalah teori Arab. Berdasarkan teori arab, islam di Nusantara bukan berasal dari Gurajat India atau Persia melainkan langsung dari Arab, yaitu mekah dan madinah pada abad VII Masehi. Seperti diketahui bahwa jalur perdagangan dunia telah ada jatuh sebelum masa kelahiran agama islam. Pada masa itu perdagangan dan nusantara telah lama berjalan. Dengan demikian, kontak antara para pedagang Nusantara dan Arab sangat mungkin terjadi.
Menurut teori arab, Islam datang pada masa khulafaur Rasyidin atau bahkan pada masa nabi. Hal ini terlihat dari adanya hubungan yang intensif antara Arab dan Nusantara. Bukti dokumentasi yang tercatat adalah dokumen dari cina yang ditulis oleh Chu-Fan-Chi mengutip catatan seorang ahli geografi, Chou Ku-Fei. Dia menyatakan adanya pelayaran dari wilayah Arab di Timur Tengah yang makan waktu jauh lebih panjang untuk berlayar. Wilayah Tha-Shih yang tercantum dalam dokumen tersebut adalah komunitas Arab yang berada di pelabuhan kecil yang dikenal sebagai Bandar Khalifah di pantai Barus, Sumatera Barat.
Keberadaan Komunitas Muslim arab di pantai Barus tercatat dalam dokumen Kuno Cina bahwa sekitar tahun 625 Masehi telah ada perkampungan Arab islam di pesisir sumatera. Menilik angka tahun tersebut berarti hanya sembilan tahun dari saat Rasulullah SAW. Memproklamasikan dakwah islam secara terbuka pada penduduk mekkah, beberapa sahabat telah berlayar dan membentuk perkampungan islam di Sumatera. Hal inilah yang menyebabkan sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa islam telah masuk Ke Nusantara saat Rasullullah SAW masih hidup di mekkah dan madinah.
Bukti lain dari masuknya Islam pada abad VII adalah ditemukannya makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus yang pada batu nisannya tertulis nama Syekh Rukunuddin yang wafat pada tahun 672 Masehi. Sebuah tim arkeologi dari Perancis, yaitu tim dari ECOLO FRANCAISE D'EXTREME-ORIENT (EFEO) bekerja sama dengan pusat Penelitian Arkeologi Nasional di Lobu Tua-Barus menemukan bahwa sekitar abaf IX-XII masehi, barus telah menjadi sebuah menjadi sebuah wilayah pusat pelabuhan yang didiami oleh pemukim dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, Cina, Tamil, Jawa, Bugis, dan Bengkulu.
Bukti tersebut diperkuat dengan munculnya kerajaan islam pertama di Nusantara, yaitu kerajaan Perlak atau Peurula sekita abad IX Masehi. Kerajaan inilah yang pertama kali menyebarkan agama islam di sumatera hingga berkembang menjadi Kerajaan Samudera pasai. Selain itu, juga hingga ke jawa dengan adanya makam Fatimah binti Maimun berangka tahun 1082 Masehi. Adanya sebuah kerajaan Islam Perlak abad IX membuktikan masuknya islam pada masa sebelum itu.
Di antara ketiga teori ini, teori Arablah yang saat ini diterima oleh para ahli sejarah. Meskipun demikian, bukan berarti masuknya islam di Nusantara hanya berasal dari tanah arab. Kaum muslimin dari Wilayah yang juga telah memeluk agama islam juga ikut berperan semisal para pedagang dari Gurajat atau Persia meskipun datang kemudian.
C. Teori Masuknya Islam di Nusantara berdasarkan Teori Arab
Teori ketiga adalah teori Arab. Berdasarkan teori arab, islam di Nusantara bukan berasal dari Gurajat India atau Persia melainkan langsung dari Arab, yaitu mekah dan madinah pada abad VII Masehi. Seperti diketahui bahwa jalur perdagangan dunia telah ada jatuh sebelum masa kelahiran agama islam. Pada masa itu perdagangan dan nusantara telah lama berjalan. Dengan demikian, kontak antara para pedagang Nusantara dan Arab sangat mungkin terjadi.
Menurut teori arab, Islam datang pada masa khulafaur Rasyidin atau bahkan pada masa nabi. Hal ini terlihat dari adanya hubungan yang intensif antara Arab dan Nusantara. Bukti dokumentasi yang tercatat adalah dokumen dari cina yang ditulis oleh Chu-Fan-Chi mengutip catatan seorang ahli geografi, Chou Ku-Fei. Dia menyatakan adanya pelayaran dari wilayah Arab di Timur Tengah yang makan waktu jauh lebih panjang untuk berlayar. Wilayah Tha-Shih yang tercantum dalam dokumen tersebut adalah komunitas Arab yang berada di pelabuhan kecil yang dikenal sebagai Bandar Khalifah di pantai Barus, Sumatera Barat.
Keberadaan Komunitas Muslim arab di pantai Barus tercatat dalam dokumen Kuno Cina bahwa sekitar tahun 625 Masehi telah ada perkampungan Arab islam di pesisir sumatera. Menilik angka tahun tersebut berarti hanya sembilan tahun dari saat Rasulullah SAW. Memproklamasikan dakwah islam secara terbuka pada penduduk mekkah, beberapa sahabat telah berlayar dan membentuk perkampungan islam di Sumatera. Hal inilah yang menyebabkan sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa islam telah masuk Ke Nusantara saat Rasullullah SAW masih hidup di mekkah dan madinah.
Bukti lain dari masuknya Islam pada abad VII adalah ditemukannya makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus yang pada batu nisannya tertulis nama Syekh Rukunuddin yang wafat pada tahun 672 Masehi. Sebuah tim arkeologi dari Perancis, yaitu tim dari ECOLO FRANCAISE D'EXTREME-ORIENT (EFEO) bekerja sama dengan pusat Penelitian Arkeologi Nasional di Lobu Tua-Barus menemukan bahwa sekitar abaf IX-XII masehi, barus telah menjadi sebuah menjadi sebuah wilayah pusat pelabuhan yang didiami oleh pemukim dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, Cina, Tamil, Jawa, Bugis, dan Bengkulu.
Bukti tersebut diperkuat dengan munculnya kerajaan islam pertama di Nusantara, yaitu kerajaan Perlak atau Peurula sekita abad IX Masehi. Kerajaan inilah yang pertama kali menyebarkan agama islam di sumatera hingga berkembang menjadi Kerajaan Samudera pasai. Selain itu, juga hingga ke jawa dengan adanya makam Fatimah binti Maimun berangka tahun 1082 Masehi. Adanya sebuah kerajaan Islam Perlak abad IX membuktikan masuknya islam pada masa sebelum itu.
Di antara ketiga teori ini, teori Arablah yang saat ini diterima oleh para ahli sejarah. Meskipun demikian, bukan berarti masuknya islam di Nusantara hanya berasal dari tanah arab. Kaum muslimin dari Wilayah yang juga telah memeluk agama islam juga ikut berperan semisal para pedagang dari Gurajat atau Persia meskipun datang kemudian.
2.3 Perkembangan Islam di Indonesia
Sebagian
ahli menyatakan bahwa agama Islam itu masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 sampai
dengan abad ke-8 Masehi. Pendapat itu didasarkan pada berita dari Cina zaman
Dinasti T’ang yang menyebutkan adanya orang-orang Ta Shih (Arab dan Persia)
yang mengurungkan niatnya untuk menyerang Ho Ling di bawah pemerintahan Ratu
Sima (674).
Sebagian
ahli yang lain menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia baru abad ke-13.
Pernyataan ini didasarkan pada masa runtuhnya Dinasti Abbassiah di Bagdad
(1258). Hal itu juga didasarkan pada berita dari Marco Polo (1292), berita dari
Ibnu Batuttah (abad ke-14), dan Nisan Kubur Sultan Malik al Saleh (1297) di
Samudera Pasai. Pendapat itu diperkuat dengan masa penyebaran ajaran tasawuf.
Sebenarnya kita perlu memisahkan pengertian proses masuk dengan berkembangnya
agama Islam di Indonesia, seperti berikut:
1. masa
kedatangan Islam (kemungkinan sudah terjadi sejak abad ke-7 sampai
dengan abad ke-8 Masehi);
2.
masa penyebaran Islam (mulai abad ke-13 sampai dengan abad ke-16
Masehi, Islam menyebar ke berbagai
penjuru pulau di Nusantara);
3. masa perkembangan Islam (mulai abad ke-15 Masehi dan seterusnya
melalui kerajaan-kerajaan Islam).
Terdapat berbagai
pendapat pula mengenai negeri asal pembawa agama serta kebudayaan Islam ke
Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa kebudayaan dan agama Islam datang dari
Arab, Persia, dan India (Gujarat dan Benggala). Akan tetapi, para ahli
menitikberatkan bahwa golongan pembawa Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat
(India Barat). Hal itu diperkuat dengan bukti-bukti sejarah berupa nisan makam,
tata kehidupan masyarakat, dan budaya Islam di Indonesia yang banyak memiliki
persamaan dengan Islam di Gujarat.
Pembawanya
adalah para pedagang, mubalig, dan golongan ahli tasawuf. Ketika Islam masuk
melalui jalur perdagangan, pusat-pusat perdagangan dan pelayaran di sepanjang
pantai dikuasai oleh raja-raja daerah, para bangsawan, dan penguasa lainnya,
misalnya raja atau adipati Aceh, Johor, Jambi, Surabaya, dan Gresik. Mereka
berkuasa mengatur lalu lintas perdagangan dan menentukan harga barang yang
diperdagangkan. Mereka itu yang mula-mula melakukan hubungan dagang dengan para
pedagang muslim. Lebih-lebih setelah suasana politik di pusat Kerajaan
Majapahit mengalami kekacauan, raja-raja daerah dan para adipati di pesisir
ingin melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Oleh karena itu, hubungan dan
kerja sama dengan pedagang-pedagang muslim makin erat. Dalam suasana demikian,
banyak raja daerah dan adipati pesisir yang masuk Islam. Hal itu ditambah
dengan dukungan dari pedagang-pedagang Islam sehingga mampu melepaskan diri
dari kekuasaan Majapahit.Setelah raja-raja daerah, adipati pesisir, para
bangsawan, dan penguasa pelabuhan masuk Islam rakyat di daerah itu pun masuk
Islam, contohnya Demak (abad ke-15), Ternate (abad ke-15), Gowa (abad ke-16),
dan Banjar (abad ke-16).
Proses masuk
dan berkembangnya agama dan kebudayaan Islam di Indonesia berlangsung secara
bertahap dan dilakukan secara damai sehingga tidak menimbulkan ketegangan
sosial. Cara penyebaran agama dan kebudayaan Islam di Indonesia melalui
berbagai saluran berikut ini.
1. Saluran
Perdagangan
Saluran yang
digunakan dalam proses islamisasi di Indonesia pada awalnya melalui
perdagangan. Hal itu sesuai dengan perkembangan lalu lintas pelayaran dan
perdagangan dunia yang ramai mulai abad ke-7 sampai dengan abad ke- 16, antara
Eropa, Timur Tengah, India, Asia Tenggara, dan Cina.
Proses
islamisasi melalui saluran perdagangan ini dipercepat oleh situasi politik
beberapa kerajaan Hindu pada saat itu, yaitu adipati-adipati pesisir berusaha
melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah pusat di Majapahit. Pedagang-pedagang
muslim itu banyak menetap di kota-kota pelabuhan dan membentuk perkampungan
muslim. Salah satu contohnya adalah Pekojan.
2. Saluran
Perkawinan
Kedudukan
ekonomi dan sosial para pedagang yang sudah menetap makin baik. Para pedagang
itu menjadi kaya dan terhormat, tetapi keluarganya tidak dibawa serta. Para pedagang
itu kemudian menikahi gadis-gadis setempat dengan syarat mereka harus masuk
Islam. Cara itu pun tidak mengalami kesulitan. Saluran islamisasi lewat
perkawinan ini lebih menguntungkan lagi apabila para saudagar atau ulama Islam
berhasil menikah dengan anak raja atau adipati. Kalau raja atau adipati sudah
masuk Islam, rakyatnya pun akan mudah diajak masuk Islam.
Misalnya,
perkawinan Maulana Iskhak dengan putri Raja Blambangan yang melahirkan Sunan
Giri; perkawinan Raden Rahmat (Sunan Ngampel) dengan Nyai Gede Manila, putri
Tumenggung Wilatikta; perkawinan putri Kawunganten dengan Sunan Gunung Jati di
Cirebon; perkawinan putri Adipati Tuban (R.A. Teja) dengan Syekh Ngabdurahman
(muslim Arab) yang melahirkan Syekh Jali (Jaleluddin).
3. Saluran
Tasawuf
Tasawuf
adalah ajaran ketuhanan yang telah bercampur dengan mistik dan hal-hal magis.
Oleh karena itu, para ahli tasawuf biasanya mahir dalam soal-soal magis dan
mempunyai kekuatan menyembuhkan. Kedatangan ahli tasawuf ke Indonesia
diperkirakan sejak abad ke-13, yaitu masa perkembangan dan penyebaran ahli-ahli
tasawuf dari Persia dan India yang sudah beragama Islam.
Bersamaan
dengan perkembangan tasawuf, para ulama dalam mengajarkan agama Islam di
Indonesia menyesuaikan dengan pola pikir masyarakat yang masih berorientasi
pada agama Hindu dan Buddha sehingga mudah dimengerti. Itulah sebabnya, orang
Jawa begitu mudah menerima agama Islam. Tokoh-tokoh tasawuf yang terkenal,
antara lain Hamzah Fansyuri, Syamsuddin as Sumatrani, Nur al Din al Raniri,
Abdul al Rauf, Sunan Bonang, Syekh Siti Jenar, dan Sunan Panggung.
4. Saluran
Pendidikan
Lembaga
pendidikan Islam yang paling tua adalah pesantren. Murid-muridnya (santri)
tinggal di dalam pondok atau asrama dalam jangka waktu tertentu menurut
tingkatan kelasnya. Pengajarnya adalah para guru agama (kiai atau ulama). Para
santri itu jika sudah tamat belajar, pulang ke daerah asal dan mempunyai
kewajiban mengajarkan kembali ilmunya kepada masyarakat di sekitar. Dengan cara
itu, Islam terus berkembang memasuki daerah-daerah terpencil.
Pesantren
yang telah berdiri pada masa pertumbuhan Islam di Jawa, antara lain Pesantren
Sunan Ampel di Surabaya yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan
Pesantren Sunan Giri yang santrinya banyak berasal dari Maluku (daerah Hitu).
Raja-raja dan keluarganya serta kaum bangsawan biasanya mendatangkan kiai atau
ulama untuk menjadi guru dan penasihat agama. Misalnya, Kiai Ageng Selo adalah
guru Jaka Tingkir; Kiai Dukuh adalah guru Maulana Yusuf di Banten; Maulana
Yusuf adalah penasihat agama Sultan Ageng Tirtayasa.
5. Saluran
Seni Budaya
Berkembangnya
agama Islam dapat melalui seni budaya, misalnya seni bangunan (masjid), seni
pahat (ukir), seni tari, seni musik, dan seni sastra. Seni bangunan masjid,
mimbar, dan ukir-ukirannya masih menunjukkan seni tradisional bermotifkan
budaya Indonesia–Hindu, seperti yang terdapat pada candi-candi Hindu atau
Buddha. Hal itu dapat dijumpai di Masjid Agung Demak, Masjid Sendang Duwur
Tuban, Masjid Agung Kasepuhan Cirebon, Masjid Agung Banten, Masjid Baiturrahman
Aceh, dan Masjid Ternate. Pintu gerbang pada kerajaan Islam atau makam
orang-orang yang dianggap keramat menunjukkan bentuk candi bentar dan kori
agung. Begitu pula, nisan-nisan makam kuno di Demak, Kudus, Cirebon,
Tuban, dan Madura menunjukkan budaya sebelum Islam. Hal itu dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa Islam tidak meninggalkan seni budaya masyarakat yang telah
ada, tetapi justru ikut memeliharanya. Seni budaya yang tetap dipelihara dalam
rangka proses islamisasi itu banyak sekali, antara lain perayaan Garebek Maulud
(Sekaten) di Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon.Islamisasi juga dilakukan
melalui pertunjukkan wayang yang telah dipoles dengan unsur-unsur Islam.
Menurut cerita, Sunan Kalijaga juga pandai memainkan wayang. Islamisasi melalui
sastra ditempuh dengan cara menyadur buku-buku tasawuf, hikayat, dan babad ke
dalam bahasa pergaulan (Melayu).
6. Saluran
Dakwah
Gerakan
penyebaran Islam di Jawa tidak dapat dipisahkan dengan peranan Wali Songo.
Istilah wali adalah sebutan bagi orang-orang yang sudah mencapai tingkat
pengetahuan dan penghayatan agama Islam yang sangat dalam dan sanggup berjuang
untuk kepentingan agama tersebut. Oleh karena itu, para wali menjadi sangat
dekat dengan Allah sehingga mendapat gelar Waliullah (orang yang sangat
dikasihi Allah). Sesuai dengan zamannya, wali-wali itu juga memiliki kekuatan
magis karena sebagian wali juga merupakan ahli tasawuf.
Para Wali Sanga yang berjuang dalam
penyebaran agama Islam di berbagai daerah di Pulau Jawa adalah sebagai berikut.
- Maulana Malik Ibrahim
- Sunan Ampel
- Sunan Drajad
- Sunan Bonang
- Sunan Giri
- Sunan Kalijaga
- Sunan Kudus
- Sunan Muria
- Sunan Gunung Jati
2.4 Corak Islam di Nusantara
Kemunculan
dan perkembangan Islam di kawasan Nusantara menimbulkan transformasi kebudayaan
(peradaban) lokal. Tranformasi melalui pergantian agama dimungkinkan karena
Islam selain menekankan keimanan yang benar, juga mementingkan tingkah laku dan
pengamalan yang baik, yang diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Terjadinya
transformasi kebudayaan (peradaban) dari sistem keagamaan lokal kepada sistem
keagamaan Islam bisa disebut revolusi agama. Transformasi masyarakat kepada
Islam terjadi berbarengan dengan “masa perdagangan,” masa ketika Asia Tenggara
mengalami peningkatan posisi dalam perdagangan Timur-Barat. Kota-kota wilayah
pesisir muncul dan berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan, kekayaan dan
kekuasaan. Masa ini mengantarkan wilayah Nusantara ke dalam internasionalisasi
perdagangan dan kosmopolitanisme kebudayaan yang tidak pernah dialami
masyarakat di kawasan ini pada masa-masa sebelumnya.
Konversi
massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa perdagangan terjadi karena
beberapa sebab sebagai berikut:
1. Portabilitas (siap pakai) sistem keimanan
Islam. Sebelum Islam datang, sistem kepercayaan lokal berpusat kepada
penyembahan arwah nenek moyang yang tidak siap pakai. Oleh karena itu, sistem
kepercayaan kepada Tuhan yang berada di mana-mana dan siap memberikan
perlindungan di manapun mereka berada, mereka temukan di dalam Islam.
2. Asosiasi Islam dengan kekayaan. Ketika
penduduk pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi dengan pedagang Muslim yang
kaya raya. Karena kekayaan dan kekuatan ekonominya, mereka bisa memainkan peran
penting dalam bidang politik entitas lokal dan bidang diplomatik.
3. Kejayaan militer. Orang Muslim dipandang
perkasa dan tangguh dalam peperangan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa
pertempuran yang dialami dan dimenangkan oleh kaum Muslim.
4. Memperkenalkan tulisan. Agama Islam
memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara (Nusantara) yang
sebagian belum mengenal tulisan, dan sebagian sudah mengenal tulisan sanskerta.
Tulisan yang diperkenalkan adalah tulisan Arab.
5. Mengajarkan penghapalan. Para penyebar
Islam menyandarkan otoritas sakral. Ajaran Islam yang mengandung kebenaran
dirancang dalam bentuk –bentuk yang mudah dipahami dan dihafalkan oleh penganut
baru. Karena itulah, hafalan menjadi sangat penting bagi para penganut baru
yang semakin banyak jumlahnya.
6. Kepandaian dalam penyembuhan. Karena
penyakit selalu dikaitkan dengan sebab-sebab spiritual, maka agama dipandang
mempunyai jawaban terhadap berbagai penyakit dan ini menjadi jalan untuk
pengembang sebuah agama yang baru (Islam). Contohnya, Raja Patani menjadi
muslim setelah disembuhkan penyakitnya oleh seorang ulama dari Pasai.
7. Pengajaran tentang moral. Islam menawarkan
keselamatan dari berbagai kekuatan jahat. Ini terangkum dalam moral dunia yang
diprediksi bahwa orang-orang yang taat akan dilindungi Tuhan dari segala
kekuatan jahat dan akan diberi imbalan surga di akhirat.
Melalui sebab-sebab itu, Islam cepat mendapat
pengikut yang banyak. Menurut Azra, semua daya tarik tersebut mendorong terjadinya
“Revolusi keagamaan”.
Adapun corak awal Islam dipengaruhi oleh
tasawuf, antara lain terlihat dalam berbagai aspek berikut:
a). Aspek Politik
Dengan
cara perlahan dan bertahap, tanpa menolak dengan keras terhadap sosial kultural
masyarakat sekitar, Islam memperkenalkan toleransi dan persamaan derajat.
Ditambah lagi kalangan pedagang yang mempunyai orientasi kosmopolitan,
panggilan Islam ini kemudian menjadi dorongan untuk mengambil alih kekuasaan
politik dari tangan penguasa yang masih kafir. Menurut penulis, pengambil
alihan kekuasaan dari penguasa yang masih kafir ini merupakan konflik yang
terjadi antara rakyat dengan penguasa. Karena, rakyat yang sudah memeluk agama
Islam, menginginkan kehidupan yang adil di bawah pimpinan yang adil pula. Maka dalam
hal ini, keadilan tersebut akan sangat mungkin didapatkan apabila pemimpin
sudah memeluk Islam dan melaksanakan ajarannya.
Islam
semakin tersosialisasi dalam masyarakat Nusantara dengan mulai terbentuknya
pusat kekuasaan Islam. Kerajaan Samudera Pasai diyakini sebagai kerajaan Islam
pertama di Indonesia. Bukti paling kuat yang menjelaskan tentang itu adalah
ditemukannya makam Malik al-Shaleh yang terletak di kecamatan Samudera di Aceh
Utara. Makam tersebut menyebutkan bahwa, Malik al-Shaleh wafat pada bulan
Ramadhan 696 H/ 1297 M. Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu Malik,
Malik al-Shaleh digambarkan sebagai penguasa pertama kerajaan Samudera Pasai.
Pada tahap-tahap selanjutnya, banyak kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di
wilayah Nusantara, seperti kerajaan Aceh, Demak, Pajang, Mataram, Ternate,
Tidore, dan sebagainya.
Menurut
penulis, banyaknya kerajaan Islam yang berdiri di wilayah Nusantara tidak
terlepas dari adanya peran para ulama yang dekat dengan Raja. Dengan demikian,
terjadi kontak antara Raja dengan ulama, yang selanjutnya mengislamkan raja
kemudian diikuti oleh rakyatnya. Pada tahap berikutnya, raja yang muslimpun
akan membantu penyebaran dan pengembangan agama Islam ke wilayah-wilayah di
Nusantara, dan diikuti dengan banyaknya kerajaan Islam yang berdiri.
b). Aspek Hukum
Adanya
sebuah kerajaan, akan melahirkan undang-undang untuk mengatur jalannya
kehidupan di sebuah kerajaan. Karena dengan undang-undang inilah masyarakat
akan diatur.
Sebelum
masuknya Nusantara, telah ada sistem hukum yang bersumber dari hukum Hindu dan
tradisi lokal (hukum adat). Berbagai perkara dalam masyarakat diselesaikan
dengan kedua hukum tersebut.
Setelah
agama Islam masuk, terjadi perubahan tata hukum. Hukum Islam berhasil
menggantikan hukum Hindu di samping berusaha memasukkan pengaruh ke dalam
masyarakat dengan mendesak hukum adat, meskipun dalam batas-batas tertentu
hukum adat masih tetap bertahan. Pengaruh hukum Islam tampak jelas dalam
beberapa segi kehidupan dan berhasil mengambil kedudukan yang tetap bagi
penganutnya.
Berbagai
kitab undang-undang yang ditulis pada masa-masa awal Islam di Nusantara yang
menjadi panduan hukum bagi negara dan masyarakat, memang bersumber dari
kitab-kitab karya ulama Sunni di berbagai pusat keilmuan dan kekuasaan Islam di
Timur Tengah. Kitab undang-undang Melayu menunjukkan ajaran-ajaran syari’ah
sebagai bagian integral dalam pembinaan tradisi politik di kawasan ini.
Sebagai
contoh, yaitu kitab Undang-Undang Melaka. Kitab undang-undang ini menunjukkan
kuatnya pengaruh unsur-unsur hukum Islam, khususnya yang berasal dari Mazhab
Syafi’i. Undang-Undang Melaka pada intinya meletakkan beberapa prinsip
pertemuan antara hukum Islam dan adat setempat. Pertama, gagasan tentang
kekuasaan dan dan sifat daulat ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip Islam.
Kedua, pemeliharaan ketertiban umum dan penyelesaian perkara hukum didasarkan
pada ketentuan-ketentuan Islam dan adat. Ketiga, hukum kekeluargaan pada
umumnya didasarkan pada ketentuan-ketentuan fiqh Islam. Keempat, hukum dagang dirumuskan
berdasarkan praktek perdagangan kaum Muslimin. Kelima, hukum yang berkaitan
dengan kepemilikan tanah umumnya berdasarkan adat.
Dengan
demikian, dalam perkembangan tradisi politik Melayu di Nusantara, pembinaan
hukum dilakukan dengan mengambil prinsip-prinsip hukum Islam, dan
mempertahankan ketentuan-ketentuan adat yang dipandang tidak bertentangan
dengan hukum Islam.
c). Aspek Bahasa
Kedalaman
pengaruh bahasa Arab dalam politik Islam di Asia Tenggara (nusantara) tidak
diragukan lagi banyak berkaitan dengan sifat penyebaran Islam di kawasan,
khususnya pada masa-masa awal. Hal ini berbeda dengan Islamisasi di wilayah
Persia dan Turki yang melibatkan penggunaan militer, Islamisasi di Nusantara
pada umumnya berlangsung damai.
Konsekuensi
dari sifat proses penyebaran itu sudah jelas. Wilayah Muslim Asia Tenggara
(Nusantara) menerima Islam secara berangsur-angsur. Dengan demikian, Muslim
Melayu tidak mengadopsi budaya Arab secara keseluruhan , bahkan warna lokal
cukup menonjol dalam perjalanan Islam di kawasan ini.
Walaupun
kurang terarabisasi, bahasa Arab memainkan peran penting dalam kehidupan sosial
keagamaan kaum Muslim. Berbagai suku bangsa Melayu tidak hanya mengadopsi
peristilahan Arab, tetapi juga aksara Arab yang kemudian sedikit banyak
disesuaikan dengan kebutuhan lidah lokal.
Dari
aspek tersebut, kemunculan Islam dan penerimaan aksara Arab merupakan langkah
signifikan bagi sebagian penduduk di Nusantara untuk masuk ke dalam kebudayaan
tulisan. Selanjutnya, hal tersebut melahirkan tulisan yang dikenal dengan
akasara Arab Melayu atau aksara Arab Jawi.
Ketiga
aspek tersebut yang dipengaruhi oleh Islam, hal tersebut menjadi corak Islam
yang terus berkembang hingga abad ke 17. Hal ini menunjukkan kehidupan beragama
Islam sangat terasa pada masa tersebut.
2.5
Perkembangan
Peradaban Islam di Indonesia pada Masa Penjajahan Barat
1. Masa
Penjajahan Portugis
Perjalanan bangsa Portugis hingga benua Asia tidak terlepas dari watak sebagian besar bangsa Eropa (beragama Kristen) yang membenci umat Islam. Seperti yang telah kita ketahui bahwa pernah terjadi peperangan besar yang terjadi antara umat Islam dan Kristen yang disebut “Perang Salib” (1096-1270 M). Penguasaan besar-besaran oleh umat Islam di daerah Timur Tengah dan beberapa wilayah Eropa pada saat itu memancing umat Kristen di sekitarnya untuk segera mengambil alih kedudukan itu. Walaupun perang Salib berhasil dimenangkan oleh umat Islam, namun beda halnya dengan yang terjadi di belahan Dunia Islam sebelah barat. Orang-orang Islam (Arab) yang telah berkuasa atas semenanjung Iberia (Spanyol-Portugal) semenjak abad 6 Masehi mengalami pasang naik dan pasang surut. Karena sebab-sebab perpecahan ke dalam, pertentangan politik, penonjolan rasa keakuan yang melampaui batas, berebut kekuasaan dan kekayaan, tidak dapat membedakan yang mana boleh dikerjakan sendiri-sendiri di antara golongan-golongan dan yang mana harus bersatu, dan karena mengabaikan ajaran-ajaran Syara’ Islam, maka pada periode demi periode mengalami kemunduran dan persengketaan. Akhirnya pada tahun-tahun memasuki abad ke-15 M daerah-daerah yang mereka kuasai, propinsi demi propinsi direbut kembali oleh orang-orang Spanyol-Portugis hingga akhirnya pecahlah Kerajaan Islam Spanyol yang jaya menjadi berkeping-keping di Afrika Utara. Istilah “reconquistia” pun mulai didengung-dengungkan sebagai lambang kemegahan orang Spanyol dan Portugis. Istilah ini dikemukakan oleh Dr. W. B. Sijabat yang berarti “merebut kembali dari suatu yang pernah diambil pihak lain”.
Bersamaan dengan itu, orang-orang Portugis mengambil kesempatan untuk melakukan apa yang mereka namakan “reconquistia”. Mereka bukan saja merebut miliknya yang pernah hilang, akan tetapi lebih dari itu. Mereka menjadi bernafsu untuk merebut milik orang-orang Islam di mana saja mereka berada baik di Barat maupun di Timur. Setiap orang yang beragama Islam bagi mereka adalah orang Moro, orang yang harus diperangi.
Mulailah orang-orang portugis berlanglang buana atas nama “conquistador-conquistador” (jagoan penakluk) yang direstui Sri Paus. Tujuannya berganda, membalas dendam, merebut tanah jajahan, kekuasaan politik, mengangkut rempah-rempah dan harta kekayaan penduduk pribumi serta menyebarkan agama Katholik.
Portugis menetapkan diri mereka sebagai penguasa samudra Hindia pada awal abad ke-16. Pada tahun 1509 mereka mengalahkan sebuah pasukan gabungan Mesir dan India serta merebut Goa. Setelah menguasai Goa, bandar perdagangan di pantai barat India, Portugis mengarahkan lirikan mata imperialismenya ke Timur, Malaka (Malaysia). Pada tahun 1511 mereka menaklukkan Malaka di bawah pimpinan d’Albuquerque , tahun 1515 menaklukkan Hormuz di teluk Persia, dan pada tahun 1522 mereka menaklukkan Ternate sebagai sebuah upaya untuk menguasai perdagangan antara Cina, Jepang, Siam, Molucca, Samudra India dan Eropa. Portugis diusir dari Ternate pada tahun 1575, tetapi mereka tetap menguasai sejumlah kepulauan lainnya di Molucca.
Tahun-tahun sekitar 1510 itu Kerajaan Islam Malaka memang sedang mengalami kemerosotan akibat pertentangan dan perang saudara memperebutkan kekuasaan dan kekayaan. Agaknya penyakit inilah yang sedang melanda umat Islam di mana-mana sejak dari Spanyol hingga ke Asia Tenggara.
Di Malaka, selain banyak sekali berdatangan para pedagang bangsa Arab (Islam) juga tidak sedikit datang dan pergi para pedagang Muslimin bangsa Indonesia baik yang berasal dari Sumatra (Pase dan Perlak) maupun yang datang dari Jawa (Demak). Hal itulah yang lebih menarik perhatian Portugis. Pertama, orang-orang dari Jawa ini pemeluk agama Islam yang taat dan menjadi sahabat Malaka. Kedua, karena pedagang dari Demak itu dagang dengan membawa rempah-rempah yang amat mempesonakan Portugis. Ketiga, kapal-kapal dagang Demak tidak dipersenjatai karena tujuan pelayarannya memang semata-mata untuk berniaga.
Mulailah Portugis melakukan provokasi-provokasi untuk memutuskan hubungan Malaka-Demak dan sekaligus merampas rempah-rempah yang sangat harum di hidung orang Eropa itu. Lama kelamaan gelagat buruk ini diketahui oleh Adipati Yunus yang ketika itu menjadi sultan Demak. Mengusik dan merampas rempah orang Demak sama artinya dengan mematahkan ekonomi Negara Demak dan menghalang-halangi dakwah Islam. Memang, di kapal-kapal dagang orang Demak banyak pula berlayar para saudagar Islam bangsa Arab, akan tetapi buat Demak banyak pula mereka adalah warga negaranya sendiri yang selain sedang melakukan kegiatan berniaga sekaligus juga melakukan tugas dakwah yang dilindungi oleh kedaulatan Demak. Sejak kerajaan Demak berdiri, maka kegiatan dakwah dan niaga dilakukan secara serentak. Mubaligh-mubaligh dan saudagar-saudagar pribumi Demak berdampingan bahu membahu dengan mubaligh-mubaligh dan saudagar-saudagar Arab. Mereka tidak saja dalam hubungan antara murid dan guru tetapi telah menjadi satu saudara yang dipertalikan oleh satu agama yaitu Islam di bawah daulat kerajaan Demak.
Perlawanan pun mulai digencarkan yaitu pada tahun 1513 dan 1521 yang langsung dipimpin oleh Sultan Yunus. Namun sayangnya pertempuran ini masih bisa dihalau oleh pasukan Portugis yang memiliki kemajuan teknik dan pengalaman di laut sambil berperang, bahkan pertempuran ini menewaskan Sultan Yunus sebagai syuhada’. Peperangan tak berhenti di sini, dengan kata lain perlawanan tetap berlanjut walau sering kali mengalami kegagalan.
Ternyata pertahanan yang dilakukan Demak ini membawa dampak negatif dalam sisi internal. Pemerintahan pusat di Demak lebih mencurahkan kegiatannya pada masalah politik terutama politik luar negeri. Penggarapan terhadap masalah-masalah sosial, pendidikan, kemakmuran dan sebagainya tidak seimbang. Dan yang paling diabaikan adalah masalah kaderisasi atau pembinaan generasi muda untuk calon-calon pengganti mereka di masa datang. Yang terasa pula ialah bahwa jalannya dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar tidak terorganisir seperti sedia kala. Padahal pelaksanaan politik yang lepas dari dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dengan mudah akan menimbulkan penyelewengan-penyelewengan politik, politik menjadi lepas dari norma-norma Taqwallah, maka akibatnya menjurus kepada gejala “politik menghalalkan segala cara”. Kalau sudah demikian, pasti goyahlah sendi-sendi kerajaan, jauhlah hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah, dan jurang itu akan semakin melebar jikalau tidak cepat dijembatani. Oleh karena itulah, merenggangnya hubungan penguasa dengan para ulama juga bisa dijadikan sebagai penyebab melemahnya kerajaan Demak. Pendek kata, Islam sebagai pedoman hidup harus tetap dijaga, komunikasi yang baik antara para ulama dan para penguasa sangat penting untuk diwujudkan.
Demak telah berakhir, namun Islam tidaklah berakhir.Intervensi Portugis secara tidak langsung justru menyokong bagi penyebaran Islam. Dengan hancurnya kekuasaan Malaka, para guru dan misionari Muslim berpindah ke Sumatra Utara, Jawa, Molucca, dan ke Borneo. Setelah hancurnya kekuasaan Malaka, tiga pusat utama kehidupan politik dan kultural Muslim tumbuh berkembang. Di Aceh, sultan Syah Ali Mughayat menyatukan lawan-lawan Portugis, dan berhasil mengalahkan mereka pada perang di Pidie 1521 dan pada perang Pasai tahun 1524, menaklukkan wilayah pesisir utara kerajaan Aceh yang menjadi pusat persaingan utama pihak Portugis. Antara tahun 1529-1587 Aceh melancarkan usaha-usaha secara berkesinambungan untuk merebut kembali Malaka. Antara tahun 1618 dan 1620, kerajaan Aceh merebut Pahang, Kedah, dan Perak. Puncak kekuasaan Aceh tercapai pada masa pemerintahan Iskandar Muda (1607-1636), yang mengorganisir sebuah rezim yang efektif dan memperkokoh dominasinya atas para penguasa lokal (uleebalang) dan berbagai kelompok perkampungan. Ambisi Sultan Iskandar untuk menguasai seluruh wilayah semenanjung ini dipatahkan oleh kekuatan pemerintahan Malaya lainnya pada tahun 1629.
Beberapa kesultanan Muslim didirikan di semenanjung Malaya pada abad 15 dan abad 16. Di antaranya yang paling besar adalah kesultanan Johor (1512-1812). Kesultanan Johor tidak merupakan sebuah dinasti, melainkan sebuah wilayah kewenangan yang diperintah oleh beberapa penguasa yang berbeda. Johor bertempur melawan Aceh dan Portugis untuk memperebutkan kekuasaan atas Malaka.Jawa menjadi wilayah bagi pusat kekuasaan Muslim ketiga. Antara tahun 1513 dan 1528, sebuah koalisi kerajaan Muslim mengalahkan kekuasaan Majapahit, dan tumbuhlah dua negara baru di wilayah pusat Jawa, yaitu kerajaan Banten di Jawa Tengah dan Jawa Barat (didirikan pada tahun 1568), dan kerajaan Mataram di wilayah timur Jawa Tengah.
Melanjutkan perjalanan Portugis, setelah berhasil mengacau perdagangan di Malaka, mereka mulai menemukan pedagang Melayu yang melarikan diri ke daerah lain seperti Demak dan Makasar. Mereka yang menyelamatkan diri ke Maluku, oleh Portugis diikuti jejaknya seolah dijadikan “guide”, penunjuk jalan untuk menemukan Maluku.Islamisasi di Maluku pada saat itu sudah berkembang, yaitu sejak pertengahan abad ke limabelas. Hal itu ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang dipimpin oleh penguasa-penguasa yang taat beribadah dan sangat memperhatikan dakwah Islam.
Keadaan seperti itulah yang tidak disukai Portugis. Mereka mulai menggunakan taktik adu domba untuk kembali melakukan misi utamanya, yaitu menjajah bumi Nusantara dan menghancurkan Islam. Karena usia Islam masih muda di Ternate, Portugis yang tiba di sana pada tahun 1522 M berharap dapat menggantikannya dengan agama Kristen. Harapan itu tidak terwujud. Usaha mereka hanya mendatangkan hasil yang sedikit.
Hingga pada suatu saat, seorang utusan dari Roma yang terkenal, Fransisco Xaverius, melakukan kristenisasi besar-besaran sekitar tahun 1546 padahal ratusan tahun yang lalu Islam sudah memasuki Maluku dan penduduk gugusan pulau-pulau yang padat itu telah memeluk agama Islam. Menghadapi tantangan seperti itu maka tidak sedikit terjadi perlawanan terhadap pasukan-pasukan Portugis yang membawa agama Katholiknya. Dakwah Islam itu mencapai puncaknya ketika motivasinya didorong oleh unsur politik membela kepentingan bangsa dan tanah air berhubung dengan perbuatan Portugis yang melukai sentimen nasional yang sangat kuat.
Akhirnya tindakan kristenisasi tersebut membangkitkan semangat juang di kalangan kaum Muslimin Maluku. Sultan Ternate mengambil inisiatif utnuk mengadakan tindakan timbal balik. Keras dihadapi dengan keras, sentimen dengan sentimen, ekspansi atau perluasan daerah diimbangi dengan ekspansi pula. Itu sebabnya, di mata Gereja Katholik, Sultan Ternate dipandang sebagai “orang keras paling dibenci”. Hal itulah yang oleh pemimpin Gereja sendiri akhirnya diakui sebagai suatu fanatisme yang meluap-luap. Ya, tetapi siapa mendahului siapa
Sekali pun penyebaran Kristen demikian pesat di kepulauan Maluku, namun dakwah Islam terus berkembang baik di kepulauan Maluku Utara, Tengah maupun Selatan. Umat Islam di sana mempunyai potensi yang hidup dan sanggup berdiri di atas kaki sendiri.Keadaan pada waktu sekarang tetaplah demikian dan semakin memperlihatkan perkembangan Islam yang mantap dan maju. Hal itulah yang membuat kesadaran di kalangan pemeluk agama Kristen tentang keadaan Islam yang sebenarnya di Maluku.
2. Masa Penjajahan Belanda
Penindasan Belanda atas Islam justru menjadikan Islam mampu meletakkan dasar-dasar identitas bangsa Indonesia. Selain itu Islam juga dijadikan lambang perlawanan bagi imperialisme. Bagi para penguasa pribumi, memeluk agama Islam berarti memiliki dua senjata. Pertama, mendapat dukungan dari rakyat, karena rakyat banyak dari kalangan petani dan pedagang yang telah menjadikan Islam sebagai agamanya. Kedua, selain para penguasa dengan memeluk agama Islam mendapatkan dukungan rakyat, juga dapat memiliki senjata dalam melawan agresi agama dan perdagangan dari imperialis barat.
Kehadiran ulama dalam masyarakat telah diterima sebagai pelopor pembaharu dan pengaruh ulama pun semakin mendalam setelah berhasil membina pesantren. Ternyata pesantren itu tidak hanya merupakan lembaga pendidikan, tetapi juga merupakan lembaga penyemaian kader-kader pemimpin rakyat, sekaligus berfungsi sebagai wahana merekrut prajurit sukarela yang memiliki keberanian moral yang tinggi. Sepintas lalu ulama hanya terlihat sekedar sebagai pembina pesantren. Akan tetapi, peranannya dalam sejarah cukup militan. Diakui oleh Thomas Stanford Raffles bahwa ulama merupakan part nearship para penguasa dalam melawan usaha perluasan kekuasaan asing di Indonesia. Dengan demikian, ulama memegang peranan multifungsi, termasuk bidang politik dan militer.
Kelanjutan dari pengaruh ulama yang demikian luas tersebut tidak hanya terbatas dibidang politik dan militer saja, melainkan meluas juga terhadap ekonomi yang telah meninggalkan bekas-bekasnya atas the ecology of economic activities. Maka jelaslah Belanda di Indonesia mendapatkan rintangan dari ulama terutama dibidang perdagangan. Belanda melihat kegiatan umat Islam yang mempunyai dwifungsi sebagai pedlar missionaries (da’i dan pedagang). Akibatnya, usaha perdagangan Belanda menghadapi ancaman dari umat Islam.
No comments:
Post a Comment